Tuesday, April 22, 2008

Kisah Nabi Muhammad (s.a.w) - (Makkah, Ka'bah & Quraisy)



Letak Mekah
Di tengah-tengah jalan kafilah yang berhadapan dengan Laut Merah -
antara Yaman dan Palestina - membentang bukit-bukit barisan sejauh
kira-kira delapanpuluh kilometer dari pantai. Bukit-bukit ini
mengelilingi sebuah lembah yang tidak begitu luas, yang hampir-hampir
terkepung sama sekali oleh bukit-bukit itu kalau tidak dibuka oleh
tiga buah jalan: pertama jalan menuju ke Yaman, yang kedua jalan dekat
Laut Merah di pelabuhan Jedah, yang ketiga jalan yang menuju ke
Palestina.

Ibrahim dan Isma'il
Dalam lembah yang terkepung oleh bukit-bukit itulah terletak Mekah.
Untuk mengetahui sejarah dibangunnya kota ini sungguh sukar sekali.
Mungkin sekali ia bertolak ke masa ribuan tahun yang lalu. Yang pasti,
lembah itu digunakan sebagai tempat perhentian kafilah sambil
beristirahat, karena di tempat itu terdapat sumber mata air. Dengan
demikian rombongan kafilah itu membentangkan kemah-kemah mereka, baik
yang datang dari jurusan Yaman menuju Palestina atau yang datang dari
Palestina menuju Yaman. Mungkin sekali Ismail anak Ibrahim itu orang
pertama yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, yang sebelum itu
hanya dijadikan tempat kafilah lalu saja dan tempat perdagangan secara
tukar-menukar antara yang datang dari arah selatan jazirah dengan yang
bertolak dari arah utara.

Kalau Ismail adalah orang pertama yang menjadikan Mekah sebagai tempat
tinggal, maka sejarah tempat ini sebelum itu gelap sekali. Mungkin
dapat juga dikatakan, bahwa daerah ini dipakai tempat ibadat juga
sebelum Ismail datang dan menetap di tempat itu. Kisah kedatangannya
ke tempat itupun memaksa kita membawa kisah Ibrahim a.s. secara
ringkas.

Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea) dari ayah seorang tukang kayu
pembuat patung. Patung-patung itu kemudian dijual kepada masyarakatnya
sendiri, lalu disembah. Sesudah ia remaja betapa ia melihat
patung-patung yang dibuat oleh ayahnya itu kemudian disembah oleh
masyarakat dan betapa pula mereka memberikan rasa hormat dan kudus
kepada sekeping kayu yang pernah dikerjakan ayahnya itu. Rasa syak
mulai timbul dalam hatinya. Kepada ayahnya ia pernah bertanya,
bagaimana hasil kerajinan tangannya itu sampai disembah orang?

Kemudian Ibrahim menceritakan hal itu kepada orang lain. Ayahnyapun
sangat memperhatikan tingkah-laku anaknya itu; karena ia kuatir hal
ini akan rnenghancurkan perdagangannya. Ibrahim sendiri orang yang
percaya kepada akal pikirannya. Ia ingin membuktikan kebenaran
pendapatnya itu dengan alasan-alasan yang dapat diterima. Ia mengambil
kesempatan ketika orang sedang lengah. Ia pergi menghampiri sang dewa,
dan berhala itu dihancurkan, kecuali berhala yang paling besar.
Setelah diketahui orang, mereka berkata kepadanya:

"Engkaukah yang melakukan itu terhadap dewa-dewa kami, hai Ibrahim?"
Dia menjawab: "Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling besar diantara
mereka. Tanyakanlah kepada mereka, kalau memang mereka bisa bicara."
(Qur'an, 21: 62-63)

Ibrahim melakukan itu sesudah ia memikirkan betapa sesatnya mereka
menyembah berhala, sebaliknya siapa yang seharusnya mereka sembah.

"Bila malam sudah gelap, dilihatnya sebuah bintang. Ia berkata: Inilah
Tuhanku. Tetapi bilamana bintang itu kemudian terbenam, iapun berkata:
'Aku tidak menyukai segala yang terbenam.' Dan setelah dilihatnya
bulan terbit, iapun berkata: 'Inilah Tuhanku.' Tetapi bilamana bulan
itu kemudian terbenam, iapun berkata: 'Kalau Tuhan tidak memberi
petunjuk kepadaku, pastilah aku akan jadi sesat.' Dan setelah
dilihatnya matahari terbit, iapun berkata: 'Ini Tuhanku. Ini yang
lebih besar.' Tetapi bilamana matahari itu juga kemudian terbenam,
iapun berkata: 'Oh kaumku. Aku lepas tangan terhadap apa yang kamu
persekutukan itu. Aku mengarahkan wajahku hanya kepada yang telah
menciptakan semesta langit dan bumi ini. Aku tidak termasuk mereka
yang mempersekutukan Tuhan." (Qur'an 6: 76-79)

Ibrahim tidak berhasil mengajak masyarakatnya itu. Malah sebagai
balasan ia dicampakkan ke dalam api. Tetapi Tuhan masih
menyelamatkannya. Ia lari ke Palestina bersama isterinya Sarah. Dari
Palestina mereka meneruskan perjalanan ke Mesir. Pada waktu itu Mesir
di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit (Hyksos).

Sarah adalah seorang wanita cantik. Pada waktu itu raja-raja Hyksos
biasa mengambil wanita-wanita bersuami yang cantik-cantik. Ibrahim
memperlihatkan, seolah Sarah adalah saudaranya. Ia takut dibunuh dan
Sarah akan diperisterikan raja. Dan raja memang bermaksud akan
memperisterikannya. Tetapi dalam tidurnya ia bermimpi bahwa Sarah
bersuami. Kemudian dikembalikan kepada Ibrahim sambil dimarahi. Ia
diberi beberapa hadiah di antaranya seorang gadis belian bernama
Hajar- Oleh karena Sarah sesudah bertahun-tahun dengan Ibrahim belum
juga beroleh keturunan, maka oleh Sarah disuruhnya ia bergaul dengan
Hajar, yang tidak lama kemudian telah beroleh anak, yaitu Ismail.
Sesudah Ismail besar kemudian Sarahpun beroleh keturunan, yaitu Ishaq.

Kisah Penyembelihan dan Penebusan
Beberapa ahli berselisih pendapat tentang penyembelihan Ismail serta
kurban yang telah dipersembahkan oleh Ibrahim. Adakah sebelum
kelahiran Ishaq atau sesudahnya? Adakah itu terjadi di Palestina atau
di Hijaz? Ahli-ahli sejarah Yahudi berpendapat, bahwa yang disembelih
itu adalah Ishaq, bukan Ismail. Di sini kita bukan akan menguji adanya
perselisihan pendapat itu. Dalam Qishash'l-Anbia' Syaikh Abd'l Wahhab
an-Najjar berpendapat, bahwa yang disembelih itu adalah Ismail.
Argumentasi ini diambilnya dari Taurat sendiri bahwa yang disembelih
itu dilukiskan sebagai anak Ibrahim satu-satunya. Pada waktu itu
Ismail adalah anak satu-satunya sebelum Ishaq dilahirkan. Setelah
Sarah melahirkan, maka anak Ibrahim tidak lagi tunggal, melainkan
sudah ada Ismail dan Ishaq. Dengan mengambil cerita itu seharusnya
kisah penyembelihan dan penebusan itu terjadi di Palestina. Hal ini
memang bisa terjadi demikian kalau yang dimaksudkan itu terjadi
terhadap diri Ishaq. Selama itu Ishaq dengan ibunya hanya tinggal di
Palestina, tidak pernah pergi ke Hijaz. Akan tetapi cerita yang
mengatakan bahwa penyembelihan dan penebusan itu terjadi di atas bukit
Mina, maka ini tentu berlaku terhadap diri Ismail. Oleh karena di
dalam Qur'an tidak disebutkan nama person korban itu, maka ahli-ahli
sejarah kaum Muslimin berlain-lainan pendapat.

Tentang pengorbanan dan penebusan itu kisahnya ialah bahwa Ibrahim
bermimpi, bahwasanya Tuhan memerintahkan kepadanya supaya anaknya itu
dipersembahkan sebagai kurban dengan menyembelihnya. Pada suatu pagi
berangkatlah ia dengan anaknya. "Bila ia sudah mencapai usia cukup
untuk berusaha, ia (Ibrahim) berkata: 'O anakku, dalam tidur aku
bermimpi, bahwa aku menyembelihmu. Lihatlah, bagaimanakah pendapatmu?'
Ia menjawab: 'Wahai ayahku. Lakukanlah apa yang diperintahkan
kepadamu. Jika dikehendaki Tuhan, akan kaudapati aku dalam kesabaran.'
Setelah keduanya menyerahkan diri dan dibaringkannya ke sebelah
keningnya, ia Kami panggil: 'Hai Ibrahim. Engkau telah melaksanakan
mimpi itu.' Dengan begitu, Kami memberikan balasan kepada mereka yang
berbuat kebaikan. Ini adalah suatu ujian yang nyata. Dan kami
menebusnya dengan sebuah kurban besar." (Qur'an, 37: 103-107)

Beberapa cerita melukiskan kisah ini dalam bentuk puisi yang indah
sekali, sehingga di sini perlu kita kemukakan, sekalipun tidak membawa
kisah tentang Mekah. Kisahnya, setelah Ibrahim bermimpi dalam tidurnya
bahwa ia harus menyembelih anaknya dan memastikan bahwa itu adalah
perintah Tuhan, ia berkata kepada anaknya itu: 'Anakku, bawalah tali
dan parang itu, mari kita pergi ke bukit mencari kayu untuk keluarga
kita.' Anak itupun menurut perintah ayahnya. Ketika itu datang setan
dalam bentuk seorang laki-laki, mendatangi ibu anak itu seraya
berkata: 'Tahukah engkau ke mana Ibrahim membawa anakmu?' 'Ia pergi
mencari kayu dari lereng bukit itu,' jawab ibunya. 'Tidak,' kata setan
lagi, 'ia pergi akan menyembelihnya.' Ibu itu menjawab lagi: 'Tidak.
Ia lebih sayang kepada anaknya.' 'Ia mendakwakan bahwa Tuhan yang
memerintahkan itu.'

'Kalau itu memang perintah Tuhan biarkan dia menaati perintahNya,'
jawab ibu itu. Setan itu lalu pergi dengan perasaan kecewa. Ia segera
menyusul anak yang sedang mengikuti ayahnya itu. Kepada anak itupun ia
berkata seperti terhadap ibunya tadi. Tapi jawabannyapun sama dengan
jawaban ibunya juga. Kemudian setan mendatangi Ibrahim dan mengatakan,
bahwa mimpinya itu hanya tipu-muslihat setan supaya ia menyembelih
anaknya dan akhirnya akan menyesal. Tetapi oleh Ibrahim ia
ditinggalkan dan dilaknatnya. Dengan rasa jengkel Iblis itu mundur
teratur, karena maksudnya tidak berhasil, baik dari Ibrahim, dari
isterinya atau dari anaknya.

Kemudian itu Ibrahim menyatakan kepada anaknya tentang mimpinya itu
dan minta pendapatnya. 'Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan.' Lalu
katanya lagi dalam ballada itu: 'Ayah, kalau ayah akan menyembelihku,
kuatkanlah ikatan itu supaya darahku nanti tidak kena ayah dan akan
mengurangi pahalaku. Aku tidak menjamin bahwa aku takkan gelisah bila
dilaksanakan. Tajamkanlah parang itu supaya dapat sekaligus
memotongku. Bila ayah sudah merebahkan aku untuk disembelih,
telungkupkan aku dan jangan dimiringkan. Aku kuatir bila ayah kelak
melihat wajahku ayah akan jadi lemah, sehingga akan menghalangi maksud
ayah melaksanakan perintah Tuhan itu. Kalau ayah berpendapat akan
membawa bajuku ini kepada ibu kalau-kalau menjadi hiburan baginya,
lakukanlah, ayah.'

'Anakku,' kata Ibrahim, 'ini adalah bantuan besar dalam melaksanakan
perintah Allah.'

Kemudian ia siap melaksanakan. Diikatnya kuat-kuat tangan anak itu
lalu dibaringkan keningnya untuk disembelih. Tetapi kemudian ia
dipanggil: 'Hai Ibrahim! Engkau telah melaksanakan mimpi itu.' Anak
itu kemudian ditebusnya dengan seekor domba besar yang terdapat tidak
jauh dari tempat itu. Lalu disembelihnya dan dibakarnya.

Demikianlah kisah penyembelihan dan penebusan itu. Ini adalah kisah
penyerahan secara keseluruhan kepada kehendak Allah.

Ishaq telah menjadi besar di samping Ismail. Kasih-sayang ayah sama
terhadap keduanya. Akan tetapi Sarah menjadi gusar melihat anaknya itu
dipersamakan dengan anak Hajar dayangnya itu. Ia bersumpah tidak akan
tinggal bersama-sama dengan Hajar dan anaknya tatkala dilihatnya
Ismail memukul adiknya itu. Ibrahim merasa bahwa hidupnya takkan
bahagia kalau kedua wanita itu tinggal dalam satu tempat. Oleh karena
itu pergilah ia dengan Hajar dan anak itu menuju ke arah selatan.
Mereka sampai ke suatu lembah, letak Mekah yang sekarang. Seperti kita
sebutkan di atas, lembah ini adalah tempat para kafilah membentangkan
kemahnya pada waktu mereka berpapasan dengan kafilah dari Syam ke
Yaman, atau dari Yaman ke Syam. Tetapi pada waktu itu adalah saat yang
paling sepi sepanjang tahun. Ismail dan ibunya oleh Ibrahim
ditinggalkan dan ditinggalkannya pula segala keperluannya. Hajar
membuat sebuah gubuk tempat ia berteduh dengan anaknya. Dan Ibrahimpun
kembali ke tempat semula.

Zamzam
Sesudah kehabisan air dan perbekalan, Hajar melihat ke kanan kiri. Ia
tidak melihat sesuatu. Ia terus berlari dan turun ke lembah mencari
air. Dalam berlari-lari itu - menurut cerita orang - antara Shafa dan
Marwa, sampai lengkap tujuh kali, ia kembali kepada anaknya dengan
membawa perasaan putus asa. Tetapi ketika itu dilihatnya anaknya
sedang mengorek-ngorek tanah dengan kaki, yang kemudian dari dalam
tanah itu keluar air. Dia dan Ismail dapat melepaskan dahaga.
Disumbatnya mata air itu supaya jangan mengalir terus dan menyerap ke
dalam pasir.

Anak yang bersama ibunya itu membantu orang-orang Arab yang sedang
dalam perjalanan, dan merekapun mendapat imbalan yang akan cukup
menjamin hidup mereka sampai pada musim kafilah yang akan datang.
Mata air yang memancar dari sumur Zamzam itu menarik hati beberapa
kabilah akan tinggal di dekat tempat itu. Beberapa keterangan
mengatakan, bahwa kabilah Jurhum adalah yang pertama sekali tinggal di
tempat itu, sebelum datang Hajar dan anaknya. Sementara yang lain
berpendapat, bahwa mereka tinggal di tempat itu setelah adanya sumber
sumur Zamzam, sehingga memungkinkan mereka hidup di lembah gersang
itu.

Perkawinan Ismail dengan Jurhum
Ismail sudah semakin besar, dan kemudian ia kawin dengan gadis kabilah
Jurhum. Ia dengan isterinya tinggal bersama-sama keluarga Jurhum yang
lain. Di tempat itu rumah suci sudah dibangun, yang kemudian berdiri
pula Mekah sekitar tempat itu.

Juga disebutkan bahwa pada suatu hari Ibrahim minta ijin kepada Sarah
akan mengunjungi Ismail dan ibunya. Permintaan ini disetujui dan ia
pergi. Setelah ia mencari dan menemui rumah Ismail ia bertanya kepada
isterinya: "Mana suamimu?"

"Ia sedang berburu untuk hidup kami," jawabnya.

Kemudian ditanya lagi, dapatkah ia menjamu makanan atau minuman,
dijawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa untuk dihidangkan.

Ibrahim pergi, setelah mengatakan: "Kalau suamimu datang sampaikan
salamku dan katakan kepadanya: "Ganti ambang pintumu."

Setelah pesan ayahnya itu kemudian disampaikan kepada Ismail, ia
segera menceraikan isterinya, dan kemudian kawin lagi dengan wanita
Jurhum lainnya, puteri Mudzadz bin 'Amr. Wanita ini telah menyambut
Ibrahim dengan baik setelah beberapa waktu kemudian ia pernah datang.
"Sekarang ambang pintu rumahmu sudah kuat," (kata Ibrahim).

Dari perkawinan ini Ismail mempunyai duabelas orang anak, dan mereka
inilah yang menjadi cikal-bakal Arab al-Musta'-riba, yakni orang-orang
Arab yang bertemu dari pihak ibu pada Jurhum dengan Arab al-'Ariba
keturunan Ya'rub ibn Qahtan. Sedang ayah mereka, Ismail anak Ibrahim,
dari pihak ibunya erat sekali bertalian dengan Mesir, dan dari pihak
bapa dengan Irak (Mesopotamia) dan Palestina, atau kemana saja Ibrahim
menginjakkan kaki.

Pembangunan Ka'bah
Cerita ini diambil dari sejarah yang hampir merupakan konsensus dalam
garis besarnya tentang kepergian Ibrahim dan Ismail ke Mekah, meskipun
terdapat perbedaan dalam detail. Dan yang memajukan kritik atas
peristiwa secara mendetail itu berpendapat, bahwa Hajar dan Ismail
telah pergi ke lembah yang sekarang terletak Mekah itu dan bahwa di
tempat itu terdapat mata air yang ditempati oleh kabilah Jurhum. Hajar
disambut dengan senang hati oleh mereka ketika ia datang bersama
Ibrahim dan anaknya ke tempat itu. Sesudah Ismail besar ia kawin
dengan wanita Jurhum dan mempunyai beberapa orang anak. Dari
percampuran perkawinan antara Ismail dengan unsur-unsur Ibrani-Mesir
di satu pihak dan unsur Arab di pihak lain, menyebabkan keturunannya
itu membawa sifat-sifat Arab, Ibrani dan Mesir. Mengenai sumber yang
mengatakan tentang Hajar yang kebingungan setelah melihat air yang
habis menyerap serta tentang usahanya berlari tujuh kali dari Shafa
dan Marwa dan tentang sumur Zamzam dan bagaimana air menyembur, oleh
mereka masih diragukan.

Sebaliknya William Muir menyangsikan kepergian Ibrahim dan Ismail itu
ke Hijaz dan ia menolak dasar cerita itu. Dikatakannya, bahwa itu
adalah Israiliat (Yudaica) yang dibuat-buat orang Yahudi beberapa
generasi sebelum Islam, guna mengikat hubungan dengan orang Arab yang
sama-sama sebapa dengan lbrahim, kalau Ishaq itu yang menjadi
nenek-moyang orang Yahudi. Jadi apabila saudaranya, Ismail itu moyang
orang Arab, maka mereka adalah saudara sepupu yang akan menjadi
kewajiban orang Arab pula menerima baik emigran orang-orang Yahudi ke
tengah-tengah mereka, dan akan memudahkan perdagangan orang Yahudi di
seluruh jazirah Arab. Pengarang Inggris ini mendasarkan pendapatnya
pada cara-cara peribadatan di negeri-negeri Arab yang tak ada
hubungannya dengan agama Ibrahim, sebab mereka sudah benar-benar
hanyut dalam paganisma, sedang agama Ibrahim agama murni.

Kita tidak melihat bahwa argumentasi demikian itu sudah cukup kuat
untuk menghilangkan kenyataan sejarah. Jauh beberapa abad sesudah
meninggalnya Ibrahim dan Ismail paganisma Arab tidak menunjukkan bahwa
mereka memang sudah demikian tatkala Ibrahim datang ke Hijaz dan
tatkala ia dan Ismail bersama-sama membangun Ka'bah. Andaikata waktu
itu paganisma sudah ada, tentu itu akan memperkuat pendapat Sir
William Muir. Masyarakat Ibrahim sendiri waktu itu menyembah berhala
dan ia berusaha mengajak mereka ke jalan yang benar, tapi tidak
berhasil. Apabila ia mengajak masyarakat Arab seperti mengajak
masyarakatnya sendiri, lalu tidak berhasil, dan orang-orang Arab itu
tetap menyembah berhala, tentu hal itu tidak sesuai dengan kepergian
Ibrahim dan Ismail ke Mekah. Keterangan sejarah itu secara logika
bahkan lebih kuat. Ibrahim yang telah keluar dari Irak karena mau
menghindar dari keluarganya, ia pergi ke Palestina dan Mesir, adalah
orang yang mudah bepergian dan biasa mengarungi sahara. Sedang jalan
antara Palestina dan Mekah sejak dahulu kala sudah merupakan
lalu-lintas terbuka bagi para kafilah. Dengan demikian tidak pula pada
tempatnya orang meragukan kenyataan sejarah yang dalam garis besamya
sudah menjadi konsensus itu.

Sir William Muir dan mereka yang menunjang pendapatnya itu mengatakan
tentang kemungkinan adanya segolongan anak-anak Ibrahim dan Ismail
sesudah itu yang pindah dari Palestina ke negeri-negeri Arab serta
adanya pertalian mereka dalam arti hubungan darah. Kita tidak
mengerti, kalau kemungkinan mengenai anak-anak Ibrahim dan Ismail ini
bagi mereka dapat diterima, sedang kemungkinan mengenai kedua orang
itu sendiri tidak! Bagaimana akan dikatakan belum dapat dipastikan
padahal peristiwa sejarah sudah memperkuatnya. Bagaimana pula takkan
terjadi padahal sumbernya sudah tak dapat diragukan lagi dan sudah
disebutkan dalam Quran dan dibicarakan juga dalam kitab-kitab suci
lainnya!

Ibrahim dan Ismail lalu mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu. "Bahwa
rumah pertama dibuat untuk manusia beribadat ialah yang di Mekah itu,
sudah diberi berkah dan bimbingan bagi semesta alam. Disitulah
terdapat keterangan-keterangan yang jelas sebagai Maqam (tempat)
Ibrahim; barangsiapa memasukinya menjadi aman." (Qur'an, 3: 96-97)

"Dan ingatlah, Kami jadikan Rumah itu tempat berkumpul bagi manusia
dan tempat yang aman. Dan jadikanlah Maqam Ibrahim itu tempat
bersembahyang, dan kami serahkan kepada Ibrahim dan Ismail menyucikan
RumahKu bagi mereka yang bertawaf, mereka yang tinggal menetap dan
mereka yang ruku' dan sujud. Dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata:
'Tuhanku, jadikan tempat ini Kota yang aman dan berikanlah buah-buahan
kepada penduduknya, mereka yang beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian.' Ia berkata: 'Dan bagi barang siapa yang menolak iman akan
Kuberi juga kesenangan sementara, kemudian Kutarik ia ke dalam siksa
api, tujuan yang paling celaka. Dan ingatlah tatkala Ibrahim dan
Ismail mengangkat sendi-sendi Rumah Suci itu (mereka berdoa): 'Tuhan,
terimalah ini dari kami. Sesungguhnyalah Engkau Maha mendengar, Maha
mengetahui." (Qur'an, 2: 125-127)

Bagaimana Ibrahim mendirikan Rumah itu sebagai tempat tujuan dan
tempat yang aman, untuk mengantarkan manusia supaya beriman hanya
kepada Allah Yang Tunggal lalu kemudian menjadi tempat berhala dan
pusat penyembahannya? Dan bagaimana pula cara-cara peribadatan itu
dilakukan sesudah lbrahim dan Ismail, dan dalam bentuk bagaimana pula
dilakukan? Dan sejak kapan cara-cara itu berubah lalu dikuasi oleh
paganisma? Hal ini tidak diceritakan kepada kita oleh sejarah yang
kita kenal. Semua itu baru merupakan dugaan-dugaan yang sudah dianggap
sebagai suatu kenyataan. Kaum Sabian1 yang menyembah bintang mempunyai
pengaruh besar di tanah Arab. Pada mulanya mereka - menurut beberapa
keterangan - tidak menyembah bintang itu sendiri, melainkan hanya
menyembah Allah dan mereka mengagungkan bintang-bintang itu sebagai
ciptaan dan manifestasi kebesaranNya. Oleh karena lebih banyak yang
tidak dapat memahami arti ketuhanan yang lebih tinggi, maka
diartikannya bintang-bintang itu sebagai tuhan. Beberapa macam batu
gunung dikhayalkan sebagai benda yang jatuh dan langit, berasal dan
beberapa macam bintang. Dari situ mula-mula manifestasi tuhan itu
diartikan dan dikuduskan, kemudian batu-batu itu yang disembah,
kemudian penyembahan itu dianggap begitu agung, sehingga tidak cukup
bagi seorang orang Arab hanya menyembah hajar aswad (batu hitam) yang
di dalam Ka'bah, bahkan dalam setiap perjalanan ia mengambil batu apa
saja dari Ka'bah untuk disembah dan dimintai persetujuannya: akan
tinggal ataukah akan melakukan perjalanan. Mereka melakukan cara-cara
peribadatan yang berlaku bagi bintang-bintang atau bagi pencipta
bintang-bintang itu. Dengan cara-cara demikian menjadi kuatlah
kepercayaan paganisma itu, patung-patung dikuduskan dan dibawanya
sesajen-sesajen untuk itu sebagai kurban.

Ini adalah suatu gambaran tentang perkembangan agama itu di tanah Arab
sejak Ibrahim membangun rumah sebagai tempat beribadat kepada Tuhan,
sebagaimana dilukiskan oleh beberapa ahli sejarah dan bagaimana pula
hal itu kemudian berbalik dan menjadi pusat berhala. Herodotus, bapa
sejarah, menerangkan tentang penyembahan Lat itu di negeri Arab.
Demikian juga Diodorus Siculus menyebutkan tentang rumah di Mekah yang
diagungkan itu. Ini menunjukkan tentang paganisma yang sudah begitu
tua di jazirah Arab dan bahwa agama yang dibawa Ibrahim di sana
bertahan tidak begitu lama.

Dalam abad-abad itu sudah datang pula para nabi yang mengajak
kabilah-kabilah jazirah itu supaya menyembah Allah semata-mata. Tetapi
mereka menolak dan tetap bertahan pada paganisma. Datang Hud mengajak
kaum 'Ad yang tinggal di sebelah utara Hadzramaut supaya menyembah
hanya kepada Allah; tapi hanya sebagian kecil saja yang ikut. Sedang
yang sebagian besar malah menyombongkan diri dan berkata: "O Hud, kau
datang tidak membawa keterangan yang jelas, dan kami tidak akan
meninggalkan tuhan-tuhan kami hanya karena perkataanmu itu. Kami tidak
percaya kepadamu." (Qur'an, 11: 53) Bertahun-tahun lamanya Hud
mengajak mereka. Hasilnya malah mereka bertambah buas dan congkak.
Demikian juga Saleh datang mengajak kaum Thamud supaya beriman. Mereka
ini tinggal di Hijr yang terletak antara Hijaz dengan Syam di
Wadi'l-Qura ke arah timur daya dari Mad-yan (Midian) dekat Teluk
'Aqaba. Sama saja, hasil ajakan Saleh itu tidak lebih seperti ajakan
Hud juga. Kemudian datang Syu'aib kepada bangsa Mad-yan yang terletak
di Hijaz, mengajak supaya mereka menyembah Allah. Juga tidak didengar
Merekapun mengalami kehancuran seperti yang terjadi terhadap golongan
'Ad dan Thamud.

Selain para nabi itu juga Qur'an telah menceritakan tentang ajakan
mereka supaya menyembah Allah yang Esa. Sikap golongan itu begitu
sombong. Mereka tetap bersikeras hendak menyembah berhala dan bermohon
kepada berhala-berhala dalam Ka'bah itu. Mereka berziarah ke tempat
itu setiap tahun; mereka datang dari segenap pelosok jazirah Arab.
Dalam hal ini turun firman Tuhan: "Dan Kami tidak akan mengadakan
siksaan sebelum Kami mengutus seorang rasul."(Qur'an 17: 15)

Sejak didirikannya Mekah di tempat itu sudah ada jabatan-jabatan
penting seperti yang dipegang oleh Qushayy bin Kilab pada pertengahan
abad kelima Masehi. Pada waktu itu para pemuka Mekah berkumpul.
Jabatan-jabatan hijaba, siqaya, rifada, nadwa, liwa' dan qiyada
dipegang semua oleh Qushay. Hijaba ialah penjaga pintu Ka'bah atau
yang memegang kuncinya. Siqaya ialah menyediakan air tawar - yang
sangat sulit waktu itu bagi mereka yang datang berziarah serta
menyediakan minuman keras yang dibuat dari kurma. Rifada ialah memberi
makan kepada mereka semua. Nadwa ialah pimpinan rapat pada tiap tahun
musim. Liwa' ialah panji yang dipancangkan pada tombak lalu
ditancapkan sebagai lambang tentara yang sedang menghadapi musuh, dan
qiyada ialah pimpinan pasukan bila menuju perang. Jabatan-jabatan
demikian itu di Mekah sangat terpandang. Dalam masalah ibadat seolah
pandangan orang-orang Arab semua tertuju ke Ka'bah itu.

Saya kira semua itu datangnya bukan sekaligus ketika rumah itu
dibangun, melainkan satu demi satu, pada satu pihak tak ada
hubungannya satu sama lain dengan Ka'bah serta kedudukannya dalam arti
agama, di pihak lain sedikit banyak memang ada juga hubungannya.

Mekah di Bawah Jurhum
Tatkala Ka'bah dibangun menurut gambaran yang ada dalam khayal kita -
tidak lebih Mekah hanya terdiri dari kabilah-kabilah Amalekit dan
Jurhum. Sesudah Ismail menetap di sana dan bersama-sama dengan ayahnya
memasang sendi-sendi rumah itu, barulah Mekah mengalami perkembangan.
Untuk beberapa waktu yang cukup lama kemudian ia menjadi sebuah kota
atau yang menyerupai kota. Kita katakan menyerupai kota, karena Mekah
dengan penduduknya waktu itu masih membawa sifat sisa-sisa
keterbelakangan dalam arti yang sangat bersahaja. Beberapa penulis
sejarah tidak keberatan dalam menyebutkan, bahwa Mekah itu masih
terbelakang sebelum semua urusan berada di tangan Qushayy pada
pertengahan abad kelima Masehi itu. Sukar bagi kita akan dapat
membayangkan suatu daerah seperti Mekah dengan Rumah Purbanya yang
dianggap suci itu akan tetap berada dalam suasana hidup pengembaraan.
Padahal sejarah membuktikan bahwa persoalan Rumah Suci itu berada di
tangan Ismail dalam lingkungan keluarga Jurhum selama beberapa
generasi kemudian. Mereka tinggal di sekitar tempat itu, di samping
Mekah masa itu memang tempat pertemuan kafilah-kafilah dalam
perjalanan ke Yaman, Hira, Syam dan Najd. Juga hubungannya dengan Laut
Merah yang tidak jauh dari tempat itu merupakan hubungan langsung
dengan perdagangan dunia. Sukar akan dapat dibayangkan adanya suatu
daerah dalam keadaan demikian itu akan tetap tanpa ada pendekatan dari
dunia lain dari segi peradabannya. Beralasan sekali dugaan kita, bahwa
Mekah, yang sudah didoakan oleh Ibrahim dan ditetapkan Allah akan
menjadi suatu daerah yang aman sentosa, sudah mengenal hidup stabil
selama beberapa generasi sebelum Qushayy.

Meskipun sudah dikalahkan oleh Amalekit, Mekah masih di tangan Jurhum
sampai pada masa Mudzadz bin 'Amr ibn Harith. Selama dalam masa
generasi ini perdagangan Mekah mengalami perkembangan yang pesat
sekali di bawah kekuasaan orang-orang yang biasa hidup mewah, sehingga
mereka lupa bahwa mereka berada di tanah tandus dan bahwa mereka perlu
selalu berusaha dan selalu waspada. Demikian lalainya mereka itu
sehingga Zamzam menjadi kering dan pihak kabilah Khuza'a merasa perlu
memikirkan akan turut terjun memegang pimpinan di tanah suci itu.

Peringatan Mudzadz kepada masyarakatnya tentang akibat hidup
berfoya-foya, tidak berhasil. Ia yakin sekali bahwa hal ini akan
menghanyutkan mereka semua. Kemudian ia berusaha menggali Zamzam lebih
dalam lagi. Diambilnya dua buah pangkal pelana emas dari dalam Ka'bah
beserta harta yang dibawa orang sebagai sesajen ke dalam Rumah Suci
itu. Dimasukkannya semua itu ke dalam dasar sumur, sedang pasir yang
masih ada di dalamnya dikeluarkan, dengan harapan pada suatu waktu ia
akan menemukannya kembali. Ia keluar dengan anak-anak Ismail dari
Mekah. Kekuasaan sesudah itu dipegang oleh Khuza'a. Demikian
seterusnya turun-temurun sampai kepada Qushayy bin Kilab, nenek
(kakek) Nabi Muhammad yang kelima.

Fatimah bint Sa'd bin Sahl kawin dengan Kilab dan mempunyai anak
bernama Zuhra dan Qushayy. Kilab meninggal dunia ketika Qushayy masih
bayi. Kemudian Fatimah kawin lagi dengan Rabi'a bin Haram. Kemudian
mereka pergi ke Syam dan di sana Fatimah melahirkan Darraj. Qushayy
semakin besar juga dan ia hanya mengenal Rabi'a sebagai ayahnya.
Lambat-laun antara Qushayy dengan pihak kabilah Rabi'a terjadi
permusuhan. Ia dihina dan dikatakan berada di bawah perlindungan
mereka, padahal bukan dari pihak mereka Qushayy mengadukan penghinaan
itu kepada ibunya.

"Ayahmu lebih mulia dari mereka," kata ibunya kepada Qushayy. "Engkau
anak Kilab bin Murra, dan keluargamu di Mekah menempati Rumah Suci."

Qushayy lalu pergi ke Mekah, dan menetap di sana. Karena pandangannya
yang baik dan mempunyai kesungguhan, orang-orang di Mekah sangat
menghormatinya. Pada waktu itu pengawasan Rumah Suci di tangan Hulail
bin Hubsyia - orang yang berpandangan tajam dari kabilah Khuza'a.
Tatkala Qushayy melamar puterinya, Hubba, ternyata lamarannya diterima
baik dan kawinlah mereka. Qushayy terus maju dalam usaha dan
perdagangannya, yang membuat ia jadi kaya, harta dan anak-anaknya pun
banyak pula. Di kalangan masyarakatnya ia makin terpandang. Hulail
meninggal dengan meninggalkan wasiat supaya kunci Rumah Suci di tangan
Hubba puterinya. Tetapi Hubba menolak dan kunci itu dipegang oleh Abu
Ghibsyan dari kabilah Khuza'a. Tetapi Abu Ghibsyan ini seorang
pemabuk. Ketika pada suatu hari ia kehabisan minuman keras kunci itu
dijualnya kepada Qushayy dengan cara menukarnya dengan minuman keras.

Khuza'a sudah memperhitungkan betapa kedudukannya nanti bila pimpinan
Ka'bah itu berada di tangan Qushayy sebagai orang yang banyak hartanya
dan orang yang mulai berpengaruh di kalangan Quraisy. Mereka merasa
keberatan bilamana masalah pimpinan Rumah Suci berada di tangan pihak
lain selain mereka sendiri. Pada waktu Qushayy meminta bantuan
Quraisy, beberapa kabilah memang sudah berpendapat bahwa dialah
penduduk yang paling kuat dan sangat dihargai di Mekah. Mereka
mendukung Qushayy dan berhasil mengeluarkan Khuza'a dari Mekah.
Sekarang seluruh pimpinan Rumah Suci itu sudah di tangan Qushayy dan
dia diakui sebagai pemimpin mereka.

Qushayy dan Anak-anaknya
Seperti sudah kita kemukakan, beberapa orang berpendapat, bahwa sampai
pada waktu pimpinan Mekah berada di tangan Qushayy, bangunan apapun
belum ada di tempat itu, selain Ka bah. Alasannya ialah, karena baik
Khuza'a atau Jurhum tidak ingin melihat ada bangunan lain di sekitar
Rumah Tuhan itu, juga karena pada malam hari mereka tidak pernah
tinggal di tempat itu, melainkan pergi ke tempat-tempat terbuka.
Ditambahkan pula bahwa setelah Qushayy memegang pimpinan Mekah ia
mengumpulkan Quraisy dan menyuruh mereka membangun di tempat itu.
Dengan dipelopori oleh Qushayy sendiri dibangunnya Dar'n-Nadwa sebagai
tempat pertemuan pembesar-pembesar Mekah yang dipimpin oleh Qushayy
sendiri. Di tempat ini mereka bermusyawarah mengenai masalah-masalah
negeri itu. Menurut kebiasaan mereka, setiap persoalan yang mereka
hadapi selalu diselesaikan dengan persetujuan bersama. Baik wanita
atau laki-laki yang akan melangsungkan perkawinan harus di tempat ini
pula.

Dengan perintah Qushayy orang-orang Quraisy lalu membangun
tempat-tempat tinggal mereka di sekitar Ka'bah itu, dengan meluangkan
tempat yang cukup luas untuk mengadakan tawaf sekitar Rumah itu dan
pada setiap dua rumah disediakan jalan yang menembus ke tempat tawaf
tersebut.

Anak Qushayy yang tertua ialah Abd'd-Dar. Akan tetapi Abd Manaf
adiknya, sudah lebih dulu tampil ke depan umum dan sudah mendapat
tempat pula.

Mekah di Tangan Qushayy
Sesudah usianya makin lanjut, kekuatannyapun sudah berkurang dan sudah
tidak kuat lagi ia mengurus Mekah sebagaimana mestinya, kunci Rumah
itupun diserahkannya kepada Abd'd-Dar, demikian juga soal air minum,
panji dan persediaan makanan. Setiap tahun Quraisy memberikan
sumbangan dari harta mereka yang diserahkannya kepada Qushayy guna
membuatkan makanan pada musim ziarah. Makanan ini kemudian diberikan
kepada mereka yang datang tidak dalam kecukupan. Qushayy adalah orang
yang pertama mewajibkan kepada Quraisy menyiapkan persediaan makanan.
Dikumpulkannya mereka itu dan ia sangat merasa bangga terhadap mereka
ketika bersama-sama mereka berhasil mengeluarkan Khuza'a dari Mekah.
Ketika mewajibkan itu ia berkata kepada mereka:

"Saudara-saudara Quraisy! Kamu sekalian adalah tetangga Tuhan,
keluarga RumahNya dan Tempat yang Suci. Mereka yang datang berziarah
adalah tamu Tuhan dan pengunjung RumahNya. Mereka itulah para tamu
yang paling patut dihormati. Pada musim ziarah itu sediakanlah makanan
dan minuman sampai mereka pulang kembali."

Hasyim dan Abd'l-Muttalib
Seperti ayahnya, Abd'd-Dar juga telah memegang pimpinan Ka'bah dan
kemudian diteruskan oleh anak-anaknya. Akan tetapi anak-anak Abd Manaf
sebenarnya mempunyai kedudukan yang lebih baik dan terpandang juga di
kalangan masyarakatnya. Oleh karena itu, anak-anak Abd Manaf, yaitu
Hasyim, Abd Syams, Muttalib dan Naufal sepakat akan mengambil pimpinan
yang ada di tangan sepupu-sepupu mereka itu. Tetapi pihak Quraisy
berselisih pendapat: yang satu membela satu golongan yang lain membela
golongan yang lain lagi.

Keluarga Abd Manaf mengadakan Perjanjian Mutayyabun dengan memasukkan
tangan mereka ke dalam tib, (yaitu bahan wangi-wangian) yang dibawa ke
dalam Ka'bah. Mereka bersumpah takkan melanggar janji. Demikian juga
pihak Keluarga Abd'd-Dar mengadakan pula Perjanjian Ahlaf: Antara
kedua golongan itu hampir saja pecah perang yang akan memusnakan
Quraisy, kalau tidak cepat-cepat diadakan perdamaian. Keluarga Abd
Manaf diberi bagian mengurus persoalan air dan makanan, sedangkan
kunci, panji dan pimpinan rapat di tangan Keluarga Abd'd-Dar. Kedua
belah pihak setuju, dan keadaan itu berjalan tetap demikian, sampai
pada waktu datangnya Islam.

Tugas-tugas Duniawi dan Agama di Mekah
Hasyim termasuk pemuka masyarakat dan orang yang berkecukupan. Dialah
yang memegang urusan air dan makanan. Dia mengajak masyarakatnya
seperti yang dilakukan oleh Qushayy kakeknya, yaitu supaya
masing-masing menafkahkan hartanya untuk memberi makanan kepada
pengunjung pada musim ziarah. Pengunjung Baitullah, tamu Tuhan inilah
yang paling berhak mendapat penghormatan. Kenyataannya memang para
tamu itu diberi makan sampai mereka pulang kembali.

Peranan yang dipegang Hasyim tidak hanya itu saja, bahkan jasanya
sampai ke seluruh Mekah. Pernah terjadi musim tandus, dia datang
membawakan persediaan makanan, sehingga kembali penduduk itu
menghadapi hidupnya dengan wajah berseri. Hasyim jugalah yang membuat
ketentuan perjalanan musim, musim dingin dan musim panas. Perjalanan
musim dingin ke Yaman, dan perjalanan musim panas ke Suria.

Dengan adanya semua kenyataan ini keadaan Mekah jadi berkembang dan
mempunyai kedudukan penting di seluruh jazirah, sehingga ia dianggap
sebagai ibukota yang sudah diakui. Dengan perkembangan serupa itu
tidak ragu-ragu lagi anak-anak Abd Manaf membuat perjanjian perdamaian
dengan tetangga-tetangganya. Hasyim sendiri membuat perjanjian sebagai
tetangga baik dan bersahabat dengan Imperium Rumawi dan dengan
penguasa Ghassan. Pihak Rumawi mengijinkan orang-orang Quraisy
memasuki Suria dengan aman. Demikian juga Abd Syams membuat pula
perjanjian dagang dengan Najasyi (Negus). Selanjutnya Naufal dan
Muttalib juga membuat persetujuan dengan Persia dan perjanjian dagang
dengan pihak Himyar di Yaman.

Mekah sekarang bertambah kuat dan bertambah makmur. Demikian pandainya
penduduk kota itu dalam perdagangan sehingga tak ada pihak lain yang
semasa yang dapat menyainginya. Rombongan kafilah datang ke tempat itu
dari segenap penjuru dan berangkat lagi pada musim dingin dan musim
panas. Di sekitar tempat itu didirikan pasar-pasar guna menjalankan
perdagangan itu. Itu pula sebabnya mereka jadi cekatan sekali dalam
utang-piutang dan riba serta segala sesuatu yang berhubungan dengan
perdagangan. Tak ada yang teringat akan menyaingi Hasyim yang kini
sudah makin lanjut usianya itu dalam kedudukannya sebagai penguasa
Mekah. Hanya kemudian terbayang oleh Umayya anak Abd Syams -sepupunya
- bahwa sudah tiba masanya kini ia akan bersaing. Tetapi dia tidak
berdaya, dan kedudukan itu tetap dipegang Hasyim. Sementara itu Umayya
telah meninggalkan Mekah dan selama sepuluh tahun tinggal di Suria.

Pada suatu ketika dalam perjalanan pulang dari Suria, ketika Hasyim
melalui Jathrib dilihatnya seorang wanita baik-baik dan terpandang,
muncul di tengah-tengah orang yang sedang mengadakan perdagangan
dengan dia. Wanita itu ialah Salma anak 'Amr dari kabilah Khazraj.
Hasyim merasa tertarik. Ditanyakannya, adakah ia sedang dalam ikatan
dengan laki-laki lain? Setelah diketahui bahwa dia seorang janda dan
tidak mau kawin lai kecuali bila ia memegang kebebasan sendiri, Hasyim
lalu melamarnya. Dan wanita itupun menerima, karena dia mengetahui
kedudukan Hasyim di tengah-tengah masyarakatnya.

Beberapa waktu lamanya ia tinggal di Mekah dengan suaminya. Kemudian
ia kembali ke Jathrib. Di kota ini ia melahirkan seorang anak yang
diberi nama Syaiba.

Beberapa tahun kemudian dalam suatu perjalanan musim panas ke Ghazza
(Gaza). Hasyim meninggal dunia. Kedudukannya digantikan oleh adiknya,
Muttalib. Sebenarnya Muttalib ini masih adik Abd Syams. Tetapi dia
sangat dihormati oleh masyarakatnya. Karena sikapnya yang suka
menenggang dan murah hati oleh Quraisy ia dijuluki Al-Faidz', ("Yang
melimpah"). Dengan keadaan Muttalib yang demikian itu di tengah-tengah
masyarakatnya, sudah tentu segalanya akan berjalan tenteram
sebagaimana mestinya.

Pada suatu hari terpikir oleh Muttalib akan kemenakannya, anak Hasyim
itu. Ia pergi ke Jathrib. Dan karena anak itu sudah besar, dimintanya
kepada Salma supaya anaknya itu diserahkan kepadanya. Oleh Muttalib
dibawanya pemuda itu ke atas untanya dan dengan begitu ia memasuki
Mekah. Orang-orang Quraisy menduga bahwa yang dibawa itu budaknya.
Oleh karena itu mereka lalu memanggilnya: Abd'l Muttalib (Budak
Muttalib). "Hai," kata Muttalib. "Dia kemenakanku anak Hasyim yang
kubawa dari Jathrib." Tetapi sebutan itu sudah melekat pada pemuda
tersebut. Orang sudah memanggilnya demikian dan nama Syaiba yang
diberikan ketika dilahirkan sudah dilupakan orang.

Pada mulanya Muttalib ingin sekali mengembalikan harta Hasyim untuk
kemenakannya. Tetapi Naufal menolak, lalu menguasainya. Sesudah
Abd'l-Muttalib mempunyai kekuatan ia meminta bantuan kepada
saudara-saudara ibunya di Jathrib terhadap tindakan saudara ayahnya
itu dengan maksud supaya miliknya dikembalikan kepadanya. Untuk
memberikan bantuan itu pihak Khazraj di Jathrib mengirimkan delapan
puluh orang pasukan perang. Dengan demikian Naufal terpaksa
mengembalikan harta itu.

Sekarang Abd'l-Muttalib sudah menempati kedudukan Hasyim. Sesudah
pamannya Muttalib, dialah yang mengurus pembagian air dan persediaan
makanan. Dalam mengurus dua jabatan ini terutama urusan air - ia
menemui kesulitan yang tidak sedikit. Sampai saat itu anaknya hanyalah
seorang, yaitu Harith. Sedang persediaan air untuk tamu - sejak
terserapnya sumur Zamzam didatangkan dari beberapa sumur yang
terpencar-pencar sekitar Mekah, yang kemudian diletakkan di sebuah
kolam di dekat Ka'bah. Anak yang banyak itu akan merupakan bantuan
besar dan memudahkan pekerjaan serupa ini serta pengawasannya
sekaligus. Sebaliknya, kalau Abd'l-Muttalib harus memikul jabatan
penyediaan air dan makanan sedang anak hanya Harith satu-satunya,
tentu hal ini akan terasa berat sekali. Ini jugalah yang lama menjadi
pikiran.

Berziarah ke Mekah
Orang-orang Arab masih selalu ingat kepada sumur Zamzam yang telah
dicetuskan oleh Mudzadz bin Amr beberapa abad yang lalu. Menjadi
harapan mereka selalu andaikata sumur itu masih tetap ada. Dan sesuai
dengan kedudukannya Abd'l-Muttalib pun tentu lebih banyak lagi
memikirkan dam mengharapkan hal itu. Demikian kerasnya keinginan itu
hingga terbawa dalam tidurnya seolah ada suara gaib menyuruhnya
menggali kembali sumur yang pernah menyembur di kaki Ismail neneknya
dulu itu. Demikian mendesaknya suara itu dengan menunjukkan sekali
letak sumur itu. Dan diapun memang gigih sekali ingin mencari letak
Zamzam tersebut, sampai achirnya diketemukannya juga, yaitu terletak
antara dua patung: Saf dan Na'ila.

Ia terus mengadakan penggalian, dibantu oleh anaknya, Harith. Waktu
itu tiba-tiba air membersit dan dua pangkal pelana emas dan pedang
Mudzadz mulai tampak. Sementara itu orang-orang lalu mau mencampuri
Abd'l-Muttalib dalam urusan sumur itu serta apa yang terdapat di
dalamnya. Akan tetapi Abd'l-Muttalib berkata:

"Tidak! Tetapi marilah kita mengadakan pembagian, antara aku dengan
kamu sekalian. Kita mengadu nasib dengan permainan qid-h (anak panah).
Dua anak panah buat Ka'bah, dua buat aku dan dua buat kamu. Kalau anak
panah itu keluar, ia mendapat bagian, kalau tidak, dia tidak mendapat
apa-apa."

Usul ini disetujui. Lalu anak-anak panah itu diberikan kepada juru
qid-h yang biasa melakukan itu di tempat Hubal di tengah-tengah
Ka'bah. Anak panah Quraisy ternyata tidak keluar. Sekarang
pedang-pedang itu buat Abd'l-Muttalib dan dua buah pangkal pelana emas
buat Ka'bah. Pedang-pedang itu oleh Abd'l-Muttalib dipasang di pintu
Ka'bah, sedang kedua pelana emas dijadikan perhiasan dalam Rumah Suci
itu. Abd'l Muttalib meneruskan tugasnya mengurus air untuk keperluan
tamu, sesudah sumur Zamzam dapat berjalan lancar.

Karena tidak banyak anak, Abd'l-Muttalib di tengah-tengah
masyarakatnya sendiri itu merasa kekurangan tenaga yang akan dapat
membantunya. Ia bernadar; kalau sampai beroleh sepuluh anak laki-laki
kemudian sesudah besar-besar tidak beroleh anak lagi seperti ketika ia
menggali sumur Zamzam dulu, salah seorang di antaranya akan disembelih
di Ka'bah sebagai kurban untuk Tuhan. Tepat juga anaknya yang
laki-laki akhirnya mencapai sepuluh orang dan takdirpun menentukan
pula sesudah itu tidak beroleh anak lagi.

Dipanggilnya semua anak-anaknya dengan maksud supaya dapat memenuhi
nadarnya. Semua patuh. Sebagai konsekwensi kepatuhannya itu setiap
anak menuliskan namanya masing-masing di atas qid-h (anak panah).
Kemudian semua itu diambilnya oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya kepada
juru qid-h di tempat berhala Hubal di tengah-tengah Ka'bah.

Abdullah bin Abd'l-Muttalib
Apabila sedang menghadapi kebingungan yang luarbiasa, orang-orang Arab
masa itu lalu minta pertolongan juru qid-h supaya memintakan kepada
Maha Dewa Patung itu dengan jalan (mengadu nasib) melalui qid-h.
Abdullah bin Abd'l-Muttalib adalah anaknya yang bungsu dan yang sangat
dicintai.

Setelah juru qid-h mengocok anak panah yang sudah dicantumi nama-nama
semua anak-anak yang akan menjadi pilihan dewa Hubal untuk kemudian
disembelih oleh sang ayah, maka yang keluar adalah nama Abdullah.
Dituntunnya anak muda itu oleh Abd'l-Muttalib dan dibawanya untuk
disembelih ditempat yang biasa orang-orang Arab melakukan itu di dekat
Zamzam yang terletak antara berhala Isaf dengan Na'ila.

Kisah Penebusannya
Tetapi saat itu juga orang-orang Quraisy serentak sepakat melarangnya
supaya jangan berbuat, dan atas pembatalan itu supaya memohon ampun
kepada Hubal. Sekalipun mereka begitu mendesak, namun Abd'l-Muttalib
masih ragu-ragu juga. Ditanyakannya kepada mereka apa yang harus
diperbuat supaya sang berhala itu berkenan. Mughira bin Abdullah dari
suku Makhzum berkata: "Kalau penebusannya dapat dilakukan dengan harta
kita, kita tebuslah."

Setelah antara mereka diadakan perundingan, mereka sepakat akan pergi
menemui seorang dukun di Jathrib yang sudah biasa memberikan pendapat
dalam hal semacam ini. Dalam pertemuan mereka dengan dukun wanita itu
kepada mereka dimintanya supaya menangguhkan sampai besok.

"Berapa tebusan yang ada pada kalian?" tanya sang dukun.

"Sepuluh ekor unta."

"Kembalilah ke negeri kamu sekalian," kata dukun itu. "Sediakanlah
tebusan sepuluh ekor unta. Kemudian keduanya itu diundi dengan anak
panah. Kalau yang keluar itu atas nama anak kamu, ditambahlah jumlah
unta itu sampai dewa berkenan."

Merekapun menyetujui.

Setelah yang demikian ini dilakukan ternyata anak panah itu keluar
atas nama Abdullah juga. Ditambahnya jumlah unta itu sampai mencapai
jumlah seratus ekor. Ketika itulah anak panah keluar atas nama unta
itu. Sementara itu orang-orang Quraisy berkata kepada Abd'l-Muttalib -
yang sedang berdoa kepada tuhannya: "Tuhan sudah berkenan."

"Tidak," kata Abd'l-Muttalib. "Harus kulakukan sampai tiga kali."
Tetapi sampai tiga kali dikocok anak panah itupun tetap keluar atas
nama unta itu juga. Barulah Abd'l-Muttalib merasa puas setelah
ternyata sang dewa berkenan. Disembelihnya unta itu dan dibiarkannya
begitu tanpa dijamah manusia atau binatang.

Dengan begitu itulah buku-buku biografi melukiskan. Digambarkannya
beberapa macam adat-istiadat orang Arab, kepercayaan serta cara-cara
mereka melakukan upacara kepercayaan itu. Hal ini menunjukkan
sekaligus betapa mulianya kedudukan Mekah dengan Rumah Sucinya itu di
tengah-tengah tanah Arab. At-Tabari menceritakan - sehubungan dengan
kisah penebusan ini - bahwa pernah ada seorang wanita Islam bernadar
bahwa bila maksudnya terlaksana dalam melakukan sesuatu, ia akan
menyembelih anaknya. Ternyata kemudian maksudnya terkabul. Ia pergi
kepada Abdullah bin Umar. Orang ini tidak memberikan pendapat.
Kemudian ia pergi kepada Abdullah bin Abbas yang ternyata memberikan
fatwa supaya ia menyembelih seratus ekor unta, seperti halnya dengan
penebusan Abdullah anak Abd'l-Muttalib. Tetapi Marwan - penguasa
Medinah ketika itu - merasa heran sekali setelah mengetahui hal itu.
"Nadar tidak berlaku dalam suatu perbuatan dosa," katanya.

Kedudukan Mekah dengan status Rumah Sucinya itu menyebabkan beberapa
daerah lain yang jauh-jauh juga membuat rumah-rumah ibadat
sendiri-sendiri, dengan maksud mengalihkan perhatian orang dari Mekah
dan Rumah Sucinya. Di Hira pihak Ghassan mendirikan rumah suci, Abraha
al-Asyram membangun rumah suci di Yaman. Tetapi bagi orang Arab itu
tak dapat menggantikan Rumah Suci yang di Mekah, juga tak dapat
memalingkan mereka dari Kota Suci itu. Bahkan sampai demikian rupa
Abraha menghiasi rumah sucinya yang di Yaman, dengan membawa
perlengkapan yang paling mewah yang kira-kira akan menarik orang-orang
Arab - bahkan orang-orang Mekah sendiri - ke tempat itu.

Kisah Abraha dan Gajah
Akan tetapi setelah ternyata bahwa tujuan orang-orang Arab itu hanya
Rumah Purba itu juga, dan orang-orang Yaman sendiripun meninggalkan
rumah yang dibangunnya itu serta menganggap ziarah mereka tidak sah
kalau tidak ke Mekah, maka sekarang tak ada jalan lain bagi penguasa
Negus itu kecuali ia harus menghancurkan rumah Ibrahim dan Ismail itu.
Dengan pasukan yang besar didatangkan dari Abisinia dia sudah
mempersiapkan perang dan dia sendiri di depan sekali di atas seekor
gajah besar.

Tatkala pihak Arab mendengar hal itu, besar sekali kekuatirannya akan
akibat yang mungkin ditimbulkan karenanya. Suatu hal yang luar biasa
bagi mereka, kedatangan seorang laki-laki Abisinia akan menghancurkan
rumah suci mereka dan tempat berhala-berhala mereka. Seorang laki-laki
bernama Dhu-Nafar - salah seorang bangsawan dan terpandang di Yaman -
tampil ke depan mengerahkan masyarakatnya dan orang Arab lainnya yang
bersedia berjuang melawan Abraha serta maksudnya yang hendak
menghancurkan Baitullah. Tetapi dia tak dapat menghalangi Abraha.
Malah dia sendiri terpukul dan menjadi tawanan. Nasib yang demikian
itu juga yang menimpa Nufail bin Habib al-Khath'ami ketika ia
mengerahkan masyarakatnya dari kabilah Syahran dan Nahis, malah dia
sendiri yang tertawan, yang kemudian menjadi anggota pasukannya dan
menjadi penunjuk jalan. Ketika Abraha sampai di Ta'if penduduk tempat
itu mengatakan, bahwa rumah suci mereka bukanlah rumah suci yang
dimaksudkan Abraha. Itu adalah rumah Lat. Kemudian ia diantar oleh
orang-orang yang bersedia menunjukkan jalan ke Mekah.

Bila Abraha sudah mendekati Mekah dikirimnya pasukan berkuda sebagai
kurir. Dari Tihama mereka dapat membawa harta benda Quraisy dan yang
lain-lain, di antaranya seratus ekor unta kepunyaan Abd'l-Muttalib bin
Hasyim. Pada mulanya orang-orang Quraisy bermaksud mengadakan
perlawanan. Tapi kemudian berpendapat, bahwa mereka takkan mampu.
Sementara itu Abraha sudah mengirimkan salah seorang pengikutnya
sebagai utusan bernama Hunata dan Himyar untuk menemui pemimpin Mekah.
Ia diantar menghadap Abd'l-Muttalib bin Hasyim, dan kepadanya ia
menyampaikan pesan Abraha, bahwa kedatangannya bukan akan berperang
melainkan akan menghancurkan Baitullah. Kalau Mekah tidak mengadakan
perlawanan tidak perlu ada pertumpahan darah.

Begitu Abd'l-Muttalib mendengar, bahwa mereka tidak bermaksud
berperang, ia pergi ke markas pasukan Abraha bersama Hunata, bersama
anak-anaknya dan beberapa pemuka Mekah lainnya. Kedatangan delegasi
Abd'l-Muttalib ini disambut baik oleh Abraha, dengan menjanjikan akan
mengembalikan unta Abd'l-Muttalib. Akan tetapi segala pembicaraan
mengenai Ka'bah serta supaya menarik kembali maksudnya yang hendak
menghancurkan tempat suci itu ditolaknya belaka. Juga tawaran delegasi
Mekah yang akan mengalah sampai sepertiga harta Tihama baginya,
ditolak. Abd'l-Muttalib dan rombongan kembali ke Mekah.
Dinasehatkannya supaya orang meninggalkan tempat itu dan pergi ke
lereng-lereng bukit, menghindari Abraha dan pasukannya yang akan
memasuki kota suci dan menghancurkan Rumah Purba itu.

Malam gelap gelita tatkala mereka memikirkan akan meninggalkan kota
itu dan di mana pula akan tinggal. Malam itulah Abd'l-Muttalib pergi
dengan beberapa orang Quraisy, berkumpul sekeliling pintu Ka'bah. Dia
bermohon, mereka pun bermohon minta bantuan berhala-berhala terhadap
agresor yang akan menghancurkan Baitullah itu.

Ketika mereka sudah pergi dan seluruh Mekah sunyi dan tiba waktunya
bagi Abraha mengerahkan pasukannya menghancurkan Ka'bah dan sesudah
itu akan kembali ke Yaman, ketika itu pula wabah cacar datang
berkecamuk menimpa pasukan Abraha dan membinasakan mereka. Serangan
ini hebat sekali, belum pernah dialami sebelumnya. Barangkali
kuman-kuman wabah itu yang datang dibawa angin dari jurusan laut, dan
menular menimpa Abraha sendiri. Ia merasa ketakutan sekali. Pasukannya
diperintahkan pulang kembali ke Yaman, dan mereka yang tadinya menjadi
penunjuk jalan sudah lari, dan ada pula yang mati. Bencana wabah ini
makin hari makin mengganas dan anggota-anggota pasukan yang mati sudah
tak terbilang lagi banyaknya.

Sampai juga Abraha ke Shan'a' tapi badannya sudah dihinggapi penyakit.
Tidak berselang lama kemudian diapun mati seperti anggota pasukannya
yang lain. Dan dengan demikian orang Mekah mencatatnya sebagai Tahun
Gajah. Dan ini yang diabadikan dalam Qur'an:

"Tidakkah kau perhatikan, bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap pasukan
orang-orang bergajah? Bukankah Dia gagalkan rencana mereka? Dan
dilepaskan di atas mereka pasukan-pasukan burung. Melempari mereka
dengan batu yang keras membakar. Sehingga mereka seperti daun-daun
kering yang binasa berserakan." (Qur'an 105: -4)

Peristiwa yang luar biasa ini lebih memperkuat kedudukan Mekah dalam
arti agama, di samping itu telah memperkuat pula kedudukannya dalam
arti perdagangan. Juga menyebabkan penduduknya lebih banyak
memperhatikan dan memelihara kedudukan yang tinggi dan istimewa itu
serta mempertahankannya dari segala usaha yang akan mengurangi arti
atau akan menyerang kota ini. Orang-orang Mekah lebih bersemangat lagi
mempertahankan kota mereka, mengingat kehidupan yang mereka peroleh
karenanya, hidup makmur dan mewah sejauh yang dapat kita bayangkan
kemewahan hidup mereka di daerah padang-pasir ini, gersang dan tandus.

Kegemaran penduduk daerah ini yang luarbiasa ialah minum nabidh
(minuman keras). Dalam keadaan mabuk itu mereka menemukan suatu
kenikmatan yang tak ada taranya! Suatu kenikmatan yang akan memudahkan
mereka melampiaskan hawa nafsu, akan menjadikan dayang-dayang dan
budak-budak belian yang diperjual-belikan sebagai barang dagangan itu
lebih memikat hati mereka. Yang demikian ini mendorong semangat mereka
mempertahankan kebebasan pribadi dan kebebasan kota mereka serta
kesadaran mempertahankan kemerdekaan dan menangkis segala serangan
yang mungkin datang dari musuh. Yang paling enak bagi mereka
bersenang-senang waktu malam sambil minum-minum hanyalah di pusat kota
sekeliling bangunan Ka'bah.

Di tempat itu - di samping tiga ratus buah berhala atau lebih,
masing-masing kabilah dengan berhalanya - pembesar-pembesar Quraisy
dan pemuka-pemuka Mekah duduk-duduk; masing-masing menceritakan
hal-hal yang berhubungan dengan keadaan pedalaman, dengan Yaman,
orang-orang Mundhir di Hira dan orang-orang Ghassan di Suria, tentang
datangnya kafilah serta lalu-lintas orang-orang pedalaman.

Kejadian demikian itu sampai kepada mereka dalam bentuk cerita, dari
suatu kabilah kepada kabilah yang lain. Setiap kabilah mempunyai
"pemancar" dan "pesawat radio" yang menerima berita-berita kemudian
disiarkan kembali. Masing-masing membawa cerita yang ada hubungannya
dengan berita-berita orang pedalaman, kisah-kisah tetangga dan
handai-tolan sambil minum-minum nabidh. Dan sesudah mereka bermalam
suntuk di Ka'bah mereka menyiapkan diri untuk hal yang sama guna lebih
memuaskan kehendak hawa-nafsu. Dengan mata batu permata
berhala-berhala itu menjenguk melihat kepada mereka yang sedang
berdagang itu, dan mereka merasa mendapat perlindungan, karena Ka'bah
itu dijadikan Rumah Suci dan Mekah menjadi kota aman sentosa. Demikian
juga berhala-berhala mendapat jaminan mereka, bahwa tak seorangpun
Ahli Kitab akan memasuki Mekah kecuali tenaga kerja yang takkan bicara
tentang agama atau kitabnya.

Itulah sebabnya di sana tak ada koloni-koloni Yahudi seperti di
Jathrib atau Nasrani seperti di Najran. Bahkan Ka'bah yang dijadikan
tempat paganisma yang paling suci ketika itu mereka lindungi dari
semua yang akan menghinanya, dan merekapun berlindung ke sana dari
segala serangan. Begitulah seterusnya Mekah itu bebas berdiri sendiri,
seperti kabilah-kabilah Arab yang bebas pula berdiri sendiri-sendiri.
Mereka tidak mau kalau kebebasannya itu diganti, dan mereka tidak
pedulikan cara hidup lain selain kebebasannya ini di bawah
perlindungan berhala-berhala. Masing-masing kabilah tidak pula
terganggu, dan tidak pula terpikir oleh mereka akan mengadakan suatu
kesatuan bangsa yang kuat, seperti yang dilakukan oleh Rumawi dan
Persia dalam meluaskan kekuasaan dan melakukan peperangan.

Oleh karena itu tetaplah kabilah-kabilah itu semua tidak mempunyai
sesuatu bentuk apapun selain cara-cara hidup pedalaman, tempat mereka
mencari padang rumput untuk ternak, kemudian hidup di tengah-tengah
itu dengan cara hidup yang kasar, tertarik oleh segala kebebasan,
kemerdekaan, kebanggaan dan kepahlawanan.

Pada dasarnya tempat-tempat tinggal di Mekah mengelilingi lingkungan
Ka'bah. Jauh dekatnya rumah-rumah itu dari Ka'bah tergantung dari
penting dan tingginya kedudukan sesuatu keluarga atau suku. Kaum
Quraisy adalah yang terdekat letaknya dan paling banyak berhubungan
dengan Rumah Suci itu. Merekalah yang memegang kuncinya dan
kepengurusan air Zamzam, juga segala gelar-gelar kebangsawanan menurut
paganisma ada pada mereka, yang sampai menimbulkan perang karenanya,
menyebabkan adanya persekutuan, atau perjanjian-perjanjian perdamaian
antar kabilah, yang tetap tersimpan di dalam Ka'bah, supaya dapat
disaksikan oleh sang berhala untuk kemudian menurunkan murkanya bagi
mereka yang melanggar.

Di belakang rumah-rumah Quraisy itu menyusul pula rumah-rumah kabilah
yang agak kurang penting kedudukannya, diikuti oleh yang lebih rendah
lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum budak dan sebangsa kaum
gelandangan. Termasuk umat Kristen dan Yahudi di Mekah, seperti kita
sebutkan tadi - adalah juga budak. Tempat-tempat tinggal mereka jauh
dari Ka'bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Oleh karena itu
percakapan mereka tentang kisah-kisah agama, baik Kristen atau Yahudi,
tidak sampai mendekati telinga pemuka-pemuka Quraisy dan penduduk
Mekah umumnya. Letak mereka yang lebih jauh itu benar-benar membuat
mereka lebih rapat lagi menutup telinga. Mereka tidak mau menyibukkan
diri dengan itu. Dalam perjalanan mereka melalui biara-biara dan
tempat-tempat para rahib sudah biasa mereka mendengar cerita serupa
itu.

Hanya saja apa yang sudah mulai diperkatakan orang tentang akan
datangnya seorang nabi di tengah-tengah orang Arab waktu itu, sudah
cukup menimbulkan heboh. Abu Sufyan pernah marah kepada Umayya bin
Abi'sh-Shalt karena orang ini sering mengulang-ulang cerita para rahib
tentang hal serupa itu. Dan barangkali sesuai dengan kedudukan Abu
Sufyan juga ketika itu ketika ia berkata kepada kawannya itu: Para
rahib itu suka membawa cerita semacam itu karena mereka tidak mengerti
soal agama mereka sendiri. Mereka memerlukan sekali adanya seorang
nabi yang akan memberi petunjuk kepada mereka. Tetapi kita yang sudah
punya berhala-berhala, yang akan mendekatkan kita kepada Tuhan, tidak
memerlukan lagi hal serupa itu. Kita harus menentang semua pembicaraan
semacam itu.

Dapat saja ia bicara begitu. Dia, yang begitu fanatik kepada Mekah dan
kehidupan paganismanya, tak pernah membayangkan bahwa saatnya sudah di
ambang pintu, bahwa kenabian Muhammad saw sudah dekat dan bahwa dari
tanah Arab pagan yang beraneka ragam itu cahaya Tauhid dan sinar
kebenaran akan memancar ke seluruh dunia.

Abdullah bin Abd'l-Muttalib sebenarnya adalah pemuda yang berwajah
tampan dan menarik. Menarik perhatian gadis-gadis dan wanita-wanita
Mekah. Lebih-lebih lagi yang menarik perhatian mereka ialah kisah
penebusan, dan kisah seratus ekor unta yang tidak mau diterima oleh
Hubal kurang dari itu. Tetapi takdir sudah menentukan Abdullah akan
menjadi seorang ayah yang paling mulia yang pernah dikenal sejarah.
Demikian juga Aminah bint Wahb akan menjadi ibu bagi anak Abdullah
itu. Ia kawin dengan wanita itu dan selang beberapa bulan kemudian
iapun meninggal. Tak ada lagi penebusan berupa apapun yang akan
melepaskan dia dari maut. Tinggal lagi Aminah kemudian akan melahirkan
Muhammad dan akan mati semasa yang dilahirkan itu masih bayi.

Pada gambar berikut ini silsilah keturunan Nabi yang menerangkan
perkiraan tahun-tahun kelahiran mereka masing-masing.


SILSILAH MUHAMMAD SAW

Qushayy
(lahir 400M)
|
+----------------------+----------------------+
| | |
'Abd'l-'Uzza 'Abd Manaf 'Abd'd-Dar
| (lahir 430M)
| |
| +----------+-----------+----------+

Asad | | | |
| Muttalib Hasyim Naufal 'Abd Syams
| (lahir 464M) |
Khuwailid | Umayya
| 'Abd'l-Muttalib |
+----+----+ (lahir 497M) Harb
| | | |
'Awwam Khadijah | Abu Sufyan

| | |
Zubair | Mu'awiya
|
+--------+----------+-------+--+-----------+----------+
| | | | | |
Hamzah 'Abbas 'Abdullah Abu Lahab Abu Talib Harith
(lahir 545M) |
| +----------+----------+

| | | |
MUHAMMAD 'Aqil 'Ali Ja'far
(lahir 570M) | |
| +---+---+
| | |
Muslim Hasan Husain


Catatan kaki:
[1] Kaum Sabian yang dimaksudkan di sini bukan yang dimaksudkan dalam
Qur'an (2: 62), yaitu sekta Nasrani yang berpegang pada Taurat dan
Injil yang belum mengalami perubahan, melainkan orang-orang Harran
yang disebut oleh Ibn Taimia sebagai pusat golongan ini dan sebagai
tempat kelahiran Ibrahim atau tempat ia pindah dan Irak (Mesopotamia).
Di tempat ini terdapat kuil-kuil tempat menyembah bintang-bintang.
Kepercayaan mereka ini sebelum datangnya agama Nasrani. Setelah datang
Agama Nasrani, kepercayaan mereka menjadi campur-baur dan dikenal
sebagai pseudo-Sabian. (Dikutip oleh al-Qasimi dalam Mahasin't-Ta'wil,
jilid 2 hal. 154-147). Juga mereka tidak sama dengan kaum Sabaean yang
berasal dari Saba di Arab Selatan (A)

No comments :

Post a Comment